Nama Sandra Waworuntu banyak dibicarakan akhir akhir ini. Kisahnya
berawal ketika ia mencoba mencari pekerjaan baru di AS, tak dinyana ia
menjadi korban perdagangan wanita di negeri yang katanya menjunjung HAM
itu. Hidupnya menjadi kelam tapi Ia tak berhenti berjuang
Berkat tekad dan keberaniannya, Sandra Woworuntu bisa melarikan diri
dari jerat sindikat perdagangan manusia di Amerika Serikat (AS).
Pada 27 Januari ini, Shandra datang untuk berbicara di sidang dengar
pendapat Senat Amerika. Dia tampil bersama beberapa korban yang berhasil
menyelamatkan diri dan para aktivis pegiat anti-trafficking.
Senator fraksi Partai Republik dari negara bagian Florida, Marco Rubio,
memuji upaya dan keberanian Shandra dalam menyuarakan perlunya aturan
yang lebih tegas bagi para kontraktor tenaga kerja dari luar Amerika,
sebagaimana digariskan dalam “Comprehensive Immigration Reform Plan”
(Rencana Reformasi Imigrasi Komprehensif) yang diusulkannya.
VOA mencatat usul serupa sebenarnya telah diajukan oleh senator fraksi
Republik lainnya, Ed Royce, dan masih menunggu persetujuan di tingkat
Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam laporan “Global Trafficking in Persons" 2013, Departemen Luar Negeri Amerika menyatakan bahwa negara itu adalah “sumber,
tempat transit, dan negara tujuan bagi laki-laki, perempuan dan
anak-anak, baik warga Amerika maupun warga asing, terkait kerja paksa,
jeratan utang, perbudakan terpaksa, dan perdagangan seks”, dimana para
korban terutama berasal dari Meksiko, Thailand, Filipina, Honduras dan
Indonesia.
Shandra, yang kini menetap di New York bersama dua orang anaknya dan
membuka usaha katering kecil-kecilan, berharap bisa bekerja sama dengan
badan-badan penggiat isu perempuan di Indonesia untuk mencegah jatuhnya
lebih banyak korban.
Ia bersedia memberi informasi kepada mereka yang ingin bekerja di
Amerika dengan cara legal dan mendampingi mereka yang menjadi korban.
“Voice of Hope”, salah satu unit lembaga “Safe Horizon” yang
dipimpinnya, selama ini berupaya memberdayakan, mendidik dan menjangkau
korban sindikat perdagangan manusia yang bertahan.
Shandra juga telah bekerja sama dengan beberapa badan lain di Amerika
yang berjuang mendorong lolosnya aturan yang lebih tegas di tingkat DPR
Amerika.
Belajar dari pengalaman pahitnya ketika melaporkan apa yang dialaminya
dulu, Shandra juga berharap aparat keamanan dan pihak berwenang –
termasuk perwakilan-perwakilan negara yang ada di suatu negara – lebih
mendengar suara korban
KISAH SANDRA WAWORUNTU
Alih-alih meraih mimpi meraup dolar Amerika Serikat, Shandra Woworuntu
malah terjebak oleh sindikat perdagangan manusia (human trafficking) di
negara yang mengagungkan hak asasi manusia itu.
Dengan suara bergetar, Shandra Woworuntu menuturkan kisah kelam yang
dialaminya dalam wawancaranya dengan VOA. Dalam wawancara tersebut, dia
memaparkan kisah yang dialaminya ketika menjadi korban sindikat
perdagangan manusia di New York pada 2001.
“Tidak ada satu orang pun yang ingin terjebak. Tidak ada seorang manusia
pun ingin mengalami hal ini, tetapi itu di luar daya upaya kita,”
ujarnya dalam wawancara melalui telepon, Minggu (2/2/2014) waktu
Washington.
Shandra mengatakan dia tertarik mengadu nasib ke Amerika setelah melihat
iklan pekerjaan di beberapa media Indonesia. Ketika itu ia sedang
menganggur setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai analis
keuangan di sebuah bank akibat krisis moneter yang melilit Indonesia
pada pertengahan 1998.
Berbekal iklan yang sama dari surat kabar Kompas dan Pos Kota, Shandra
menghubungi sebuah agen di daerah Tebet, Jakarta Selatan, yang
menurutnya memiliki hubungan dengan agen perjalanan Vayatour, dan
kemudian mengurus keberangkatannya. Ia membayar Rp30 juta rupiah untuk
seluruh biaya administrasi dan tiket perjalanan, di luar visa yang harus
diurusnya sendiri di Kedutaan Besar AS di Jakarta.
“Agensi ini menawarkan pekerjaan di Amerika, Jepang, dan beberapa negara
lain. Saya coba telepon dan setelah melalui sekian banyak tes dan
interview, saya diminta membayar Rp30 juta. Katanya, biaya itu untuk
administrasi, tiket dan lain-lain. Saya senang sekali karena kalau Rp30
juta sudah termasuk tiket berarti tidak terlalu mahal kan?” ujarnya.
Dengan membawa dokumen-dokumen resmi tentang calon tempat kerjanya,
sebuah hotel di Chicago, Shandra memperoleh visa dan kemudian berangkat
ke Amerika Serikat.
“Saya senang sekali karena berhasil meraih mimpi untuk mendapat uang di
Amerika dan kembali ke Indonesia dalam enam bulan untuk ketemu anak saya
lagi,” ujar ibu dua anak itu.
Tetapi keadaan ternyata tidak semulus yang dibayangkan, ujarnya. Agensi
yang menjemputnya di bandar udara John F Kennedy di New York buru-buru
mengatakan mereka tidak bisa langsung berangkat ke Chicago karena sudah
malam sehingga harus menginap.
“Di situlah saya dipindahtangankan, dari satu tempat ke tempat lain.
Saya tidak bekerja di hotel, tetapi justru disekap. Dari satu orang ke
orang lain. Ganti-ganti tangan. Saya harus melakukan pekerjaan yang
tidak diinginkan. Tidak seperti yang dibayangkan dalam perjanjian.
Saya….dipindah-pindah beberapa kali,” ujar Shandra yang kini menjadi
aktivis kemanusiaan.
Manhattan, Chinatown, Queens, Brooklyn, Bay Side, New London, dan
Foxwoods adalah beberapa tempat di kota New York yang diingat Shandra
menjadi lokasi operasi sindikat perdagangan manusia tersebut.
Shandra mencatatnya dengan lengkap dalam sebuah buku harian, yang kelak
sangat membantu aparat berwenang di Amerika untuk menggulung komplotan
itu.
Shandra, yang tiba di New York pada awal Juni 2001, akhirnya berhasil
melarikan diri dengan melompat dari jendela sebuah kamar mandi hotel
pada awal musim dingin tahun yang sama.
Dia menghubungi nomor telepon yang diperolehnya dari seorang perempuan
cantik yang dikenalnya dalam lingkungan sindikat itu, yang secara tak
terduga justru menjerumuskannya pada sindikat perdagangan lain.
GEMBONG SINDIKAT PERDAGANGAN MANUSIA DI AS TERNYATA WNI
Setelah sempat berpindah tangan layaknya barang dagangan, Shandra
akhirnya bisa melarikan diri dari jerat para sindikat. Ironisnya,
pimpinan sindikat itu justru warga Indonesia.
“Ini memang jaringan. Yang penghabisan, atau kelima ini adalah warga
Indonesia. Singkat cerita ia mau menjual atau 'pakai' saya dalam kaitan
yang tidak bagus jadi saya kemudian kabur lagi,” ujarnya.
“Saya ke polisi tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke konsulat
(KJRI New York) tetapi juga mereka tidak bantu. Saya betul-betul tidak
punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di
dalam subway (stasiun kereta api bawah tanah) dan di taman-taman hingga
suatu saat ada yang tolong. FBI akhirnya turun tangan. Mereka kontak
polisi dan kasus saya ditangani.”
Biro Investigasi Federal pun bergerak cepat. Berbekal keterangan Shandra
dan data dari buku hariannya, FBI menggulung sindikat perdagangan
manusia di New York. Tiga kepala sindikat, termasuk seorang warga
Indonesia yang disebut-sebut Shandra, ditangkap. Puluhan perempuan
berhasil dibebaskan, termasuk dua perempuan Indonesia yang bersama-sama
Shandra menjadi korban perdagangan manusia.
“Dulu waktu membuat catatan itu saya tidak tahu kalau catatan ini akan
membantu. Nggak sampai ke sana pikiran saya. Jadi semacam kebetulan.
Saya menyampaikan catatan itu kepada polisi hanya untuk satu tujuan,
yaitu agar saya bisa membantu menyelamatkan dua teman saya – yang juga
warga negara Indonesia dan masih belum bisa kabur,” ujarnya.
“Waktu kami berpisah – sewaktu saya kabur dulu – saya janji sama mereka
saya akan kembali untuk mereka. Janji itu terngiang-ngiang terus waktu
saya di polisi. Target saya waktu itu hanya untuk menyelamatkan
kawan-kawan ini.”
Shandra menyesalkan sikap pasif Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) ketika ia melaporkan apa yang dialaminya.
“Orang di KJRI bilang ‘jika bebas boleh jalan-jalan ke mana saja tanpa
paspor’. Saya sudah sampaikan paspor sudah diambil orang jahat dan
sebagainya tetapi mereka tidak percaya. Sulit meyakinkan orang di KJRI
karena sudah dianggap bahwa pekerjaan saya memang untuk mendapat
keuntungan. Maksudnya, saya memang dianggap sebagai pelacur yang datang
ke sini untuk mencari keuntungan. Jadi susah meyakinkan siapa saja,”
ujarnya.
Pihak KJRI, menurut Shandra, hanya mengatakan akan memberi dokumen jika akan pulang.
“Tapi (KJRI) tidak tanya apakah saya ini homeless dan lain-lain. Tidak
sampai sejauh yang saya bayangkan. Maksud saya, dulu saya bayangkan jika
ada kesulitan kita bisa ke polisi atau perwakilan kita di Amerika.
Tetapi faktanya sulit sekali meminta bantuan,” ujarnya.
Sampai berita ini dinaikkan, VOA masih berupaya memperoleh keterangan
dari KJRI New York terkait hal ini. Sejauh ini, lewat telepon dan SMS,
pihak KJRI hanya mengatakan bahwa "itu kasus lama, kasus tahun 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar