Artikel Islam : Perbedaan Hukum Positif Dan Hukum Islam
Artikel Bagus kali ini akan berbagi tentang Perbedaan Hukum Positif Dan Hukum Islam. Sebelumnya Artikel Bagussudah berbagi dengan para pembaca tentang Keutamaan Bulan Suci Ramadhan, Pendidikan Islam, Batang Tenggorokan Bukti Kuasa Allah, dan Keajaiban Penciptaan Pada Unta. Mudah-mudahan artikel tentang Perbedaan Hukum Positif Dan Hukum Islam ini memberikan informasi yang berharga bagi pembaca setia Artikel Bagus. Berikut ini artikel lengkap tentang PerbedaanHukum Positif dan Hukum Islam
1. Asas manfaat.
Asas manfaat jasadiah mendorong sikap materialistik;
menjadikan segala sesuatu diukur oleh harta dan kekuasaan. Akhirnya,
hawa nafsu dijadikan standar untuk menilai segala sesuatu. Hukum menjadi
samar ketika hawa nafsu mendominasi para wakil rakyat. Demi materi dan
kekuasaan nasib rakyat pun tergadaikan. Tengok saja produk hukum kita
mulai dari UU Ketenagalistrikan, UU Energi, UU SDA, UU Migas dll yang
lebih berpihak kepada yang ’berduit’, sementara rakyat semakin pailit
(baca: miskin).
2. Hukum yang bersifat relatif.
Diserahkannya pembuatan hukum kepada manusia telah
menjadikan hukum bersifat relatif. Hukum dengan mudah berubah sesuai
dengan kepentingan pihak-pihak yang memiliki akses dan kekuatan untuk
mempengaruhi proses pembuatan hukum. Produk hukum pun akan lebih banyak
mengadopsi kepentingan mereka. Akhirnya, rakyat dirugikan.
3. Kedaulatan hukum diserahkan pada manusia.
Sistem hukum di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
sistem demokrasi yang dianutnya, yang menempatkan manusia berada dalam
posisi yang setara dengan Tuhan. Dalam sistem ini, manusia memiliki hak
untuk membuat hukum dan menentukan halal-haram. Terkait dengan sumber
pokok hukum Perdata (burgerlijk Wetboek), Indonesia masih mengadopsi hukum buatan manusia (penjajah) yang berasal dari hukum perdata Prancis, yaitu Code Napoleon,
yang diadopsi oleh Belanda. Hukum tersebut berlaku di Indonesia sejak 1
Mei 1848 bersamaan dengan penjajahan Belanda. Kitab Undang-Undang
Pidana (Wetboek van Strafrecht)-nya pun diadopsi dari KUHP untuk golongan Eropa yang merupakan kopian dari Code Penal,
yaitu Hukum Pidana di Prancis zaman Napoleon. Akibat diadopsinya hukum
buatan manusia, batasan kejahatan menjadi kacau bahkan memicu kejahatan
lain.
Sebagai contoh, dalam KUHP Pasal 284, perzinaan
(persetubuhan di luar nikah) akan dikenakan sanksi bila dilakukan oleh
pria dan wanita yang telah menikah. Itu pun jika ada pengaduan dari
pihak yang dirugikan. Artinya, jika perzinaan itu dilakukan oleh
bujang-lajang, suka sama suka, maka pelaku tidak dikenakan sanksi.
Akibatnya, free seks menjadi legal, hamil di luar nikah menjadi
biasa, bahkan aborsi sekalipun. Contoh lain, ketika batasan kepornoan
samar, bahkan kepornoan yang jelas pun dikecualikan (seperti dalam
pentas-pentas seni), hal itu akan berdampak pada pelecehan terhadap
perempuan, mulai dari pelecehan ringan hingga pemerkosaan.
4. Sekularisasi.
Sekularisme yang menjadi asas negeri ini telah
menempatkan agama hanya berada di masjid-masjid, gereja, pura dsb. Agama
hanya berlaku di wilayah privat, sementara di luar itu (seperti di
bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, termasuk hukum dan
persanksian), agama dicampakkan. Ketika berada di wilayah publik,
ketakwaan pun lenyap.
Sedangkan hukum Islam:
1. Berpihak kepada semua.
Hal ini dikaitkan dengan karakter hukum Islam yang berfungi sebagai zawâjir(pencegah) dan jawâbir
(penebus dosa). Hukum Islam akan membuat jera pelaku kejahatan dan
mencegah masyarakat untuk melakukan tindakan kriminal. Tentu hal ini
akan memberi rasa aman kepada masyarakat. Allah SWT berfirman:
Dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 179).
Hukum Islam juga berfungsi sebagai penebus dosa karena
sanksi yang dijatuhkan di dunia dapat menebus azab di akhirat. Ubadah
bin Shamit ra. berkata:
Kami pernah bersama Rasulullah saw dalam suatu
majelis dan beliau bersabda, “Kalian telah membaiatku untuk tidak
menyekutukan Allah dengan apa pun, tidak mencuri dan tidak berzina.”
Kemudian beliau membaca keseluruhan ayat, “Siapa di antara kalian
memenuhinya maka pahalanya di sisi Allah. Siapa saja yang mendapatkan
dari hal itu sesuatu, kemudian diberi sanksi, maka sanksinya menjadi
penebus dosa baginya. Siapa saja yang mendapatkan dari hal itu sesuatu,
maka Allah menutupinya jika Dia berkehendak, Dia mengampuninya atau
mengazabnya (HR al-Bukhari).
Hadis ini menjelaskan bahwa sanksi dunia, yakni sanksi
yang dijatuhkan negara bagi pelaku kejahatan, akan menggugurkan sanksi
di akhirat. Oleh karena itu, pada masa Rasulullah saw,, pelaku zina
seperti Maiz dan al-Ghamidiyah tidak segan-segan datang kepada
Rasulullah untuk mengakui perzinaannya dan meminta negara agar
menjatuhkan sanksi atas pelanggaran mereka di dunia, agar sanksi di
akhirat atas mereka gugur.
2. Tidak diskriminatif.
Hukum Islam berlaku bagi pejabat atau rakyat, bagi Muslim atau non-Muslim. Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:
Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum
kalian adalah karena mereka menegakkan hukuman atas orang-orang lemah,
tetapi membiarkan orang-orang kuat. Demi Allah, jika Fatimah mencuri,
pasti aku memotong tangannya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Pada masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah Umar pernah
menyita unta putranya, Abdullah bin Umar, yang digembalakan bersama unta
zakat di padang gembalaan terbaik. Khalifah Umar pun pernah menghukum
putra Amr bin Ash, Gubernur Mesir, karena memukul rakyat biasa. Sejarah
juga telah menunjukkan kepada kita, bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib
ra. pernah mendakwa seorang Yahudi dengan tuduhan pencurian (atas baju
besi). Namun, karena bukti-bukti yang disodorkan Khalifah Ali ra. tidak
mencukupi (meyakinkan), maka Qadhi memutuskan untuk membebaskan orang
Yahudi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa meski seorang kepala negara
(Khalifah) mendakwa salah seorang rakyatnya dengan tindak kejahatan,
maka tetap melalui prosedur persidangan. Jika tidak terbukti, ia
dibebaskan. Ini menunjukkan, seluruh warga negara memiliki kedudukan
sama di muka hukum.
3. Mekanisme kontrol yang kokoh.
Mayoritas permainan hukum terjadi melalui praktik
suap-menyuap, hadiah, kolusi dan nepotisme. Dalam hukum Islam, peluang
terjadinya hal tersebut sangat kecil. Mengapa?
Pertama: karena ditopang oleh
ketakwaan individu warga negara yang kuat. Dominannya motivasi ruhiah,
mendorong al-Ghamidiyah yang terlanjur berzina datang kepada Rasulullah
saw. dan meminta beliau untuk mensucikan dirinya dari perbuatan dosa.
Motivasi yang sama telah mendorong Qadhi Syuraih untuk tidak gegabah
dalam memutuskan sengketa Khalifah Ali dengan orang Yahudi, hingga saat
bukti tidak ia dapatkan dari Khalifah, putusan akhirnya dimenangkan oleh
Yahudi. Demikian juga dengan Abdullah bin Rawahah yang dengan tegas
menolak sogokan Yahudi Khaibar agar ia tidak menunaikan tugasnya
(menarik setengah bagian hasil pertanian mereka).
Kedua: kewajiban amar makruf nahi
mungkar telah mendorong adanya kontrol sosial dari partai politik dan
masyarakat secara umum. Kontrol yang kuat inilah yang akan mempersempit
ruang bagi tindak kejahatan, baik yang dilakukan masyarakat umum,
pejabat ataupun aparat hukum.
Ketiga: adanya peran Mahkamah Mazhalim
dalam melakukan pengawasan secara sitemik terhadap para aparat untuk
tidak berbuat curang dan melakukan permainan hukum.
4. Kedaulatan di tangan Asy-Syâri’.
Dalam Islam, yang berhak membuat hukum hanyalah Allah
SWT (Lihat: QS 12: 40). Manusia yang lemah dan memiliki keterbatasan
tidak diberi hak membuat hukum. Dengan itu, hukum Islam jauh dari
subyektivitas manusia. Baik-buruk, terpuji-tercela, halal-haram tidak
bisa dikangkangi oleh kepentingan manusia. Dengan demikian, hukum Islam
berada di atas semua pihak, semua manusia.
5. Standar hukumnya kokoh.
Standar hukum Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah. Hal
ini meniscayakan hukum Islam bersifat tetap, konsisten dan tidak
berubah-ubah. Sebab, al-Quran dan as-Sunnah adalah tetap, tidak akan
berubah hingga Hari Kiamat. Definisi kejahatan dan jenis sanksi pun
jelas hingga tidak akan memunculkan permasalahan baru. Kejahatan
didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap seluruh aturan Allah SWT.
Artinya, siapa saja yang meninggalkan kewajiban atau melakukan
keharaman, maka ia telah melakukan kejahatan (jarîmah) yang
berhak atasnya sanksi. Zina, misalnya, diharamkan Allah SWT (lihat: QS
17: 32) dan pelakunya harus dikenai sanksi. Pezina mukhshan (sudah menikah) sanksinya adalah rajam (hadis dari Jabir bin Abdillah), sedangkan pezina ghayru mukhshan (belum menikah), sanksinya adalah dicambuk dengan 100 kali cambukan (lihat QS 24: 2).
6. Memuliakan manusia.
Hukum Islam diturunkan Allah untuk kebaikan manusia dan
menyelesaikan persoalan manusia. Allah SWT telah menegaskan bahwa
risalah Islam diperuntukkan bagi seluruh manusia dan agar menjadi rahmat
(kebaikan) bagi mereka, baik Muslim ataupun non-Muslim (lihat QS 21:
107). Hal ini dibuktikan dalam sejarah panjang kaum Muslim, bahwa dalam
pemerintahan Islam selama 800 tahun di Spanyol, pemeluk Islam, Kristen
dan Yahudi mampu hidup berdampingan. Mereka mendapatkan hak-hak mereka
sebagai warga negara tanpa diskriminasi.
Read more: http://www.artikelbagus.com/2012/06/perbedaan-hukum-positif-dan-hukum-islam.html#ixzz3VAq2W9La
Tidak ada komentar:
Posting Komentar