Manten
Kucing merupakan tradisi yang sudah ada di Desa Pelem Kecamatan
Campurdarat Kabupaten Tulungagung sebelum tahun 1926. Merupakan tradisi
yang telah dilaksanakan secara turun menurun dari nenek moyangnya.
Tradisi
Manten Kucing merupakan tradisi memohon hujan ketika terjadi musim
kemarau panjang pada daerah tersebut. Mempunyai tata cara tersendiri
dalam upacaranya, tetapi tidak meninggalkan kesan sakral.
Menurut
cerita, tradisi tersebut diawali oleh seorang yang benama eyang
Sangkrah. Kala itu terjadi musim kemarau panjang yang membuat
persawahan, sungai, dan telaga kering. Warga yang mayoritan petanipun
resah. Beberapa ritualpun telah dilakukan, tetapi hujan tidak setetespun
turun.
Ditengah
kegelisahan tersebut, tanpa sengaja eyang Sangkrah mandi di sendang.
Tiba-tiba kucing Condo-mowo (Kucing yang memiliki tiga warna berbeda)
ikut mandi denganya.
Sepulang
eyang Sangkrah memandikan kucing peliharaanya di telaga, tak lama itu di
kawasan desa Pelem turun hujan deras. Warga yang menunggu-nunggu hujan
turunpun sangat bahagia. Semenjak itu, warga desa Pelem meyakini bahwa
hujan turun berkaitan dengan eyang Sangkrah yang baru memandikan kucing
peliharaanya.
Ketika
desa Pelem dijabat Demang Sutomejo pada tahun 1926, kemarau panjang
melanda desa ini lagi.Saat itulah eyang Sutomejo mendapat petunjuk untuk
memandikan kucing di telaga. Maka eyang Sutomejo mencari dua ekor
kucing Condo-mowo yang diambil dari arah barat dan timur desa. Kedua
ekor kucing tersebut kemudian di mandikan di Coban. Dan beberapa hari
setelah memandikan kucing, hujanpun mengguyur desa setempat.
Sejak saat
itu, ketika desa Pelem mengalami kemarau panjang, warga akan meminta
kepada kepala desa untuk mengadakan ritual Temanten Kucing.
Berikut erupakan prosesi Temanten Kucing yang di gelar saat ini:
- Prosesi “Temanten Kucing” diawali dengan mengirab sepasang kucing jantan dan betina berwarna putih yang dimasukkan dalam keranji.
- Dua ekor kucing itu dibawa sepasang “pengantin” laki-laki dan wanita. Di belakangnya, berderet tokoh-tokoh desa yang mengenakan pakaian adat Jawa. Sebelum dipertemukan, pasangan “Temanten Kucing” dimandikan di telaga Coban. Secara bergantian, kucing jantan dan kucing betina dikeluarkan dari dalam keranji. Lalu, satu per satu dimandikan dengan menggunakan air telaga yang sudah ditaburi kembang.
- Usai dimandikan, kedua kucing diarak menuju lokasi pelaminan. Di tempat yang sudah disiapkan aneka sesajian itu, pasangan kucing jantan dan betina itu “dinikahkan”. Sepasang laki-laki dan perempuan yang membawa kucing, duduk bersanding di kursi pelaminan. Sementara dua Temanten kucing berada di pangkuan kedua laki-laki dan wanita yang mengenakan pakian pengantin itu. Upacara pernikahan ditandai dengan pembacaan doa-doa yang dilakukan sesepuh desa setempat. Tak lebih dari 15 menit, upacara pernikahan pengantin kucing usai.
Setelah
upacara Manten Kucing selesai, warga biasanya akan berebutan mengambil
atau membasuh muka dengan air bekas memandikan kucing itu. Mereka
percaya, bahwa dengan membasuh muka dengan air tersebut, mereka akan
mendapatkan berkah. Bahkan ada juga yang berharap bisa awet muda. Selain
air yang menjadi rebutan warga, Kucing yang baru dinikahkan tersebut
juga menjadi perebutan untuk dijadikan hewan peliharaan. Mereka berharap
dengan memelihara kucing tersebut dapat mendatangkan rejeki bagi sang
pemilik.
Belakangan,
Pemkab Tulungagung ingin mengukuhkan ritual manten kucing sebagai
kebudayaan asli daerah. Pemkab kemudian menggelar festival manten
kucing, Senin, tanggal 22 November 2010 lalu, yang diikuti 19 kecamatan.
Dalam festival untuk memperingati HUT Tulungagung itu, setiap kecamatan
diwajibkan untuk menampilkan ritual manten kucing yang terbaik.
Inilah
yang kemudian menjadi masalah, dan dikecam MUI. Sebab dalam festival
itu, ada salah satu peserta yang salah mengartikan tradisi manten
kucing. Peserta tersebut secara gamblang memvisualisasikan ritual manten
kucing layaknya menikahkan manusia, yang dilengkapi dengan kembar
mayang, dan ada seorang penghulu yang memandu ijab kabul.
Tampilan yang diperagakan salah satu peserta itu, akhirnya memantik
reaksi keras dari ulama. MUI Tulungagung pun mengeluarkan fatwa yang
isinya mengecam ritual tersebut karena dianggap melukai hati umat Islam
dan berbau syirik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar