Jumat, 06 Maret 2015

UPACARA TIBAN

Alkisah dahulu kala di kerajaan Kediri, berkuasa seorang raja yang otoriter, sang Raja ingin diperDEWAkan. Demikian gambaran Raja Kediri yang menyebutnya KERTAJAYA. Sehingga rakyat menurut perintahnya bukan karena patuh melainkan karena takut. Wilayah Kerajan Kediri termasuk kademangan Ngimbang (Sekarang Ngadiluwih) mempunyai 4 kademangan yaitu: 1. Kademangan Ngimbang; 3. Megalamat; 2. Jimbun; 4. Ceker. Meskipun diperintah oleh sang Raja yang otoriter namun keadaan masyarakat makmur, segala masalah diselesaikan secara Gotong Royong. Masyarakat lebih dahulu panen membagi kepada tetangga, namun sayang kepribadian yang demikian tidak dapat perhatian oleh rajanya, bahkan Brahmana pun diminta untuk menyembah dan mendewakan dia.
“Matahari berputar, siang berganti malam, sedangkan malam dapat berganti siang”, Kata para Brahmana. Artinya keadaan di dunia tidak kekal adanya yang semula kaya dapat juga menjadi miskin, yang gagah perkasa dapat menjadi lemah tak berdaya. Begitu pula gambaran Kerajaan Kediri yang semula dalam keadaan makmur, lumbung-lumbung desa penuh padi berangsur-angsur menipis cenderung habis. Hal ini terjadi karana kemarau berlangsungnya sangat panjang. Para petani menganggur karena sawahnya tak dapat diolah, sungai-sungai mengering. Musim kemarau seakan-akan tidak ada selesainya. Segala upaya sudah diusahakan untuk mendapatkan air, namun belum dapat memenuhi kebutuhan pengairan. Yang didapat hanya sebatas kebutuhan minum dan kebutuhan dapur.
Kemarau yang berlangsung panjang tersebut merupakan kutukan kepada manusia atas ketidakpercayaan dan ketidaktakwaan terhadap kekuatan yang lebih tinggi. Untuk itu para demang bermusyawarah dengan para Pinisepuh, beberapa usul, saran dan pendapat, untuk menebus kutukan tersebut. Rakyat Ngimbang dengan sisa hartanya sedikit diberikan untuk digunakan sebagai syarat pelaksanaan Upacara Adat, bagi yang masih mempunyai padi dimohon memberikan seikat, dan bagi yang memiliki lembu membawa pecutnya sebagai lambang kekayaanya.
Setelah semua siap kemudian rakyat berkomunikasi dengan kekuatan super natural. Memohon pengampun kepada kekuatan yang lebih tinggi, supra natural tersebut. Selanjutnya sebagai ritualnya masyarakat  menyiksa diri dan berjemur dipanas terik. Sarana ini dirasa belum dapat berkomunikasi dengan kekuatan super natural, maka penyiksaan diri tersebut lebih dipertajam dengan menggunakan pecut yang terbuat dari Sodo Aren (lidi dari tumbuhan berbuah kolang-kaling/pohonnya menghasilkan ijuk). Prosesi ritualnya diantara para peserta upacara tradisi ini saling mencambuk secara bergiliran. Sudah barang tentu dalam permainan ini banyak cucuran darah, karena kekhusukannya maka segala yang diderita tidak terasa.
Dalam suasana religi inilah kemudian turun hujan yang tidak pada musimnya. Hujan yang semacam inilah yang disebut Hujan Tiban. kegembiraan rakyat Ngimbang beserta Pinisepuh tidak dapat digambarkan, bersyukurlah mereka atas Rahmat-Nya. Demikian kejadian itu yang kemudian upacara tersebut dinamakan TIBAN, dan diteruskan  oleh masyarakat setempat secara turun temurun, penyelenggaraannya dilaksanakan pada setiap musim kemarau dan diselenggarakan di tengah persawahan sewaktu sawah dalam keadaan kering. Tujuan penyelenggaraan Upacara Tiban dengan harapan turunnya hujan. Sampai saat ini upacara ini terus berlangsung meskipun telah beralih fungsi yang semula sebagai media religi berubah menjadi suatu permainan rakyat sekaligus sebagai tontonan, sesuai perkembangan, prosesi upacaranyapun sekarang disesuaikan semacam pertandingan ada kalah dan menangnya, dan tempat penyelenggaraannya tidak di sawah lagi, bisa di panggung atau arena buatan semacam di alun-alun dan lain-lain, untuk waktu penyelenggaraannya oleh Pemerintah Kabupaten Kediri ditentukan 1 Suro. Karena kesenian tradisi Tiban dikenalkan setahun sekali dalam rangka menyonsong tahun baru jawa (1 SURO).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar